Rabu, 09 Juli 2008

PROPOSAL SKRIPSI

PROPOSAL

KEANEKARAGAMAN DAN KEMELIMPAHAN

JENIS AMFIBI (ORDO ANURA)

DI PERSAWAHAN HANDIL BARAS KUALA KAPUAS

Untuk memenuhi persyaratan melakukan penelitian

Dalam rangka penyusunan Skripsi

Nama : Arief Rahman

NPM : 306.11.201301.04.061

Jurusan : Pendidikan MIPA

Program Studi : Pendidikan Biologi

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA

( STKIP PGRI ) BANJARMASIN

BANJARBARU

2007/2008

LEMBAR PERSETUJUAN


KEANEKARAGAMAN DAN KEMELIMPAHAN

JENIS AMFIBI (ORDO ANURA)

DI PERSAWAHAN HANDIL BARAS KUALA KAPUAS

Nama : Arief Rahman

NPM : 306.11.201301.04.061

Jurusan : Pendidikan MIPA

Program Studi : Pendidikan Biologi

Disetujui oleh Dosen pembimbing untuk melaksanakan

Penelitian dalam rangka penulisan skripsi

Pada Tanggal :

Dosen pembimbing I,

Drs. Abidinsyah, M.Pd

NIP. 132 966 765

Dosen pembimbing II,

Siti Ramdiah, M.Pd

NIP. 132 311 159

Mengetahui

Ketua Program Studi Pendidikan Biologi,

Drs.Abidinsyah, M.Pd

NIP. 132 966 765

A. JUDUL

KEANEKARAGAMAN DAN KEMELIMPAHAN JENIS AMFIBI

(ORDO ANURA) DI PERSAWAHAN HANDIL BARAS KUALA KAPUAS

B. LATAR BELAKANG MASALAH

Keanekaragaman hayati adalah suatu ukuran untuk mengetahui keanekaragaman kehidupan yang berhubungan erat dengan jumlah spesies suatu komunitas. Keanekaragaman hayati tersebut dapat dibagi ke dalam tiga taraf yang berbeda yakni keanekaragaman ekosistem, keanekaragaman genetik dan keanekaragaman spesies.

Katak dan kodok merupakan hewan Amfibi yang tersebar hampir di seluruh dunia, termasuk Indonesia yang memiliki sekitar 450 jenis spesies. Iklim tropis Indonesia merupakan habitat alami yang cocok bagi katak dan kodok untuk mempertahankan hidup dan menjaga metabolisme tubuhnya.

Keanekaragaman dan kelimpahan spesies amfibi tentu saja berdampak besar bagi ekosistem dan keanekaragaman spesies lain yang hidup di habitat tersebut. Dengan menjaga kelestarian habitatnya, maka spesies mampu bertahan terhadap gangguan-gangguan alami. Tentunya hanya pengaruh manusia yang mungkin menyebabkan terancamnya populasi katak. Salah satunya adalah pembuangan limbah berbahaya oleh manusia ke alam. Limbah berbahaya inilah yang bisa mengancam keberadaan katak pada daerah yang tercemar. Selain itu, karena pentingnya kedudukan katak dalam rantai makanan, maka pengurangan jumlah katak akan menyebabkan terganggunya dinamika pertumbuhan predator katak. Bahkan terganggunya populasi katak dapat berakibat langsung dengan punahnya predator katak. Akan tetapi yang lebih mengancam kehidupan kodok sebenarnya adalah kegiatan manusia yang banyak merusak habitat alami kodok, seperti hutan-hutan, sungai dan rawa-rawa. Apalagi kini penggunaan pestisida yang meluas di sawah-sawah yang akan merusak telur-telur dan berudu katak, serta mengakibatkan cacat pada generasi kodok yang berikutnya. Sebagian pestisida bersifat persisten, misalnya organofosfat dan karbamat. Pestisida yang bersifat persisten umumnya lebih berbahaya, karena sukar untuk dikeluarkan setelah berada didalam jaringan tubuh (www.wikipediaindonesia.co.id).

Kelangkaan suatu hewan dapat ditinjau dari aspek kelimpahan, tepatnya intensitas (kerapatan) dan prevalensi (frekuensi kehadiran). Suatu spesies hewan yang prevalensinya tinggi dapat lebih sering dijumpai, sebab daerah penyebarannya luas. Berbeda halnya dengan suatu spesies yang prevalensinya rendah, karena daerah penyebarannya sempit hanya dijumpai pada tempat-tempat tertentu saja. Dengan memperhatikan kedua aspek kelimpahan tersebut maka pengertian spesies umum ataupun spesies langka akan menjadi acuan penting dalam menentukan prioritas pelestarian suatu spesies hewan yang termasuk kategori jarang atau langka (Suripto, 1997).

Sawah dibuat pada lahan yang tidak sarang (pourus) dengan cara membuat petak-petak yang dibatasi pematang sehingga memungkinkan untuk membentuk lahan yang tergenang. Karena dibuat untuk tujuan budidaya tanaman padi, keragaman flora dan fauna di sawah relatif terbatas, diantaranya adalah hewan katak, ular, ikan dan berbagai spesies serangga baik yang bersifat hama maupun tidak.

Desa Handil Baras merupakan salah satu daerah persawahan pasang surut di Kabupaten Kapuas. Persawahan merupakan salah satu habitat yang cocok dengan kehidupan amfibi, hal ini disebabkan oleh temperatur suhu lingkungan sawah yang cocok dengan metabolisme tubuh amfibi. Area persawahan desa Handil Baras menggunakan sistem tumpang sari, yakni menanam tumbuhan lain di sekitar pematang.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan sebelumnya, persawahan Handil Baras dialiri beberapa oleh sungai-sungai kecil, serta diselingi dengan perumahan penduduk dan berbatasan langsung dengan jalan raya. Ditinjau dari lingkungan tersebut, diperkirakan terdapat lebih dari satu jenis spesies amfibi (ordo Anura) yang hidup pada lingkungan tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian Keanekaragaman dan kemelimpahan jenis amfibi (ordo

Anura) di persawahan Handil Baras Kuala Kapuas.

C. RUMUSAN MASALAH

Masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana keanekaragaman jenis amfibi (ordo Anura) yang aktif di malam hari di area persawahan tersebut ?

2. Bagaimana kemelimpahan jenis amfibi (ordo Anura) yang aktif di malam

hari di area persawahan tersebut ?

D. BATASAN MASALAH

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka diberikan batasan masalah sebagai berikut :

1. Jenis amfibi (ordo Anura) yang ditemukan diidentifikasi sampai tingkat spesies.

2. Jenis amfibi (ordo Anura) yang diteliti adalah yang aktif di malam hari.

E. TUJUAN PENELITIAN

Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui keanekaragaman jenis amfibi (ordo Anura) yang aktif di malam hari yang terdapat di area persawahan tersebut.

2. Untuk mengetahui kemelimpahan jenis amfibi (ordo Anura) yang aktif di

malam hari yang terdapat di area persawahan tersebut.

F. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai bahan informasi bagi masyarakat umum tentang keanekaragaman dan kemelimpahan

jenis amfibi (ordo Anura) di area persawahan Handil Baras Kuala Kapuas.

G. TINJAUAN PUSTAKA

1. Tinjauan Umum tentang Amfibi

Amfibi berasal dari kata amphi yang artinya rangkap dan bios yang artinya hidup. Amfibi umumnya didefinisikan sebagai hewan bertulang belakang (vertebrata) yang hidup di dua alam, yakni di air dan di daratan. Amfibi bertelur di air atau menyimpan telurnya di tempat yang lembab dan basah. Ketika menetas, larvanya yang dinamai berudu hidup di air dan bernafas dengan insang. Setelah beberapa lama, berudu kemudian berubah bentuk (bermetamorfosa) menjadi hewan dewasa yang umumnya hidup di daratan atau di tempat-tempat yang lebih kering dan bernafas dengan paru-paru (www.wikipediaindonesia.co.id).

Amfibi terdiri dari tiga bangsa. Bangsa Caudata atau salamander merupakan satu-satunya bangsa yang tidak terdapat di hampir seluruh Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Bangsa kedua yang paling kecil, tetapi sangat jarang ditemui adalah Sesilia atau Gymnophiona, bentuknya seperti cacing dengan kepala dan mata yang tampak jelas dan mudah dikelirukan dengan cacing. Sebagian besar amfibi Indonesia termasuk bangsa ketiga, yaitu Anura (Iskandar, 1998).

Menurut Verma (1979), Amfibi mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut :

a. Berdarah dingin (poikiloterm)

b. Kulit halus dan kasar serta banyak mengandung kelenjar

c. Sisik-sisik bila ada tersembunyi di dalam kulit

d. Tengkorak berartikulasi dengan tulang atlas melalui dua condylus occipitalis

e. Tungkai bila ada bertipe fentadactyla

f. Eritrosit bikonveks, oval, dan bernukleus

g. Jantung terdiri atas dua atrium, satu ventrikel dan satu konus

h. Arcus artat simetris

i. Pada stadium awal, pernafasan melalui insang

j. Telur-telur amfibi dibungkus oleh bahan gelatin

Ciri-ciri lain pada amfibi yaitu mempunyai dua pasang kaki dan pada setiap kakinya terdapat selaput renang yang terdapat diantara jari-jari kakinya, berfungsi untuk melompat dan berenang, matanya mempunyai selaput tambahan yang disebut membrana niktitans yang sangat berfungsi waktu menyelam. Alat pernafasan pada saat dewasa berupa paru-paru dan kulit. Hidung amfibi mempunyai katup yang mencegah air masuk ke dalam rongga mulut ketika menyelam, dan berkembang biak dengan cara melepaskan telurnya dan dibuahi oleh yang jantan di luar tubuh induknya (pembuahan eksternal).

2. Tinjauan Umum tentang Anura

Bangsa Anura merupakan bangsa amfibi yang terbesar dan sangat beragam, mencakup 16 famili. Ordo Anura mempunyai ciri-ciri umum yakni ukuran tubuh pendek, lebar dan kaku. Tungkai depan lebih kecil dan lebih pendek daripada tungkai belakang, kepala dan badan bersatu, serta tidak mempunyai ekor.

a. Morfologi

Kodok dan katak/bangkong termasuk dalam bangsa Anura dan merupakan hewan amfibi yang paling dikenal orang di Indonesia. Meski mirip, katak dan kodok adalah dua jenis hewan yang berbeda. Kodok bertubuh pendek, gempal atau kurus, berpunggung agak bungkuk, umumnya berkulit halus, lembab, dengan kaki belakang yang panjang. Sebaliknya katak atau bangkong bertubuh besar, berkulit kasar dan kering, berbintil-bintil sampai berbingkul-bingkul, dan kaki belakangnya pendek. Pada beberapa jenis katak, sisi tubuhnya terdapat lipatan kulit berkelenjar mulai dari belakang mata sampai di atas pangkal paha, yang disebut lipatan dorsolateral.

Katak mempunyai mata berukuran besar, dengan pupil mata horisontal dan vertikal. Pada beberapa jenis katak, pupil matanya berbentuk berlian atau segi empat, yang khas bagi masing-masing kelompok. Pada kebanyakan jenis, binatang betina lebih besar daripada yang jantan. Ukuran katak dan kodok di Indonesia bervariasi dari yang terkecil hanya 10 mm, dengan berat hanya satu atau dua gram sampai jenis yang mencapai 280 mm dengan berat lebih dari 1500 gram (Iskandar, 1998).

b. Perkembangbiakan

Kodok dan katak mengawali hidupnya sebagai telur yang diletakkan induknya di air, di sarang busa, atau di tempat-tempat basah lainnya. Beberapa jenis kodok pegunungan menyimpan telurnya di antara lumut-lumut yang basah di pepohonan. Sementara jenis kodok hutan yang lain menitipkan telurnya di punggung kodok jantan yang lembab, yang akan selalu menjaga dan membawanya hingga menetas bahkan hingga menjadi kodok kecil. Katak mampu menghasilkan 5000-20000 telur, tergantung dari kualitas induk dan berlangsung sebanyak tiga kali dalam setahun.

Telur-telur kodok dan katak menetas menjadi berudu atau kecebong yang bertubuh mirip ikan gendut, bernafas dengan insang dan selama beberapa lama hidup di air. Perlahan-lahan akan tumbuh kaki belakang, yang kemudian diikuti dengan tumbuhnya kaki depan, menghilangnya ekor dan bergantinya insang dengan paru-paru.

Kodok dan katak kawin pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada saat bulan mati atau pada ketika menjelang hujan. Pada saat itu kodok-kodok jantan akan berbunyi-bunyi untuk memanggil betinanya, dari tepian atau tengah perairan. Beberapa jenisnya, seperti kodok tegalan (Fejervarya limnocharis) dan kintel lekat alias belentuk (Kaloula baleata), kerap membentuk ‘grup nyanyi’, di mana beberapa hewan jantan berkumpul berdekatan dan berbunyi bersahut-sahutan. Suara keras kodok dihasilkan oleh kantung suara yang terletak di sekitar lehernya, yang akan menggembung besar manakala digunakan.

Pembuahan pada kodok dilakukan di luar tubuh. Kodok jantan akan melekat di punggung betinanya dan memeluk erat ketiak betina dari belakang. Sambil berenang di air, kaki belakang kodok jantan akan memijat perut kodok betina dan merangsang pengeluaran telur. Pada saat yang bersamaan kodok jantan akan melepaskan spermanya ke air, sehingga bisa membuahi telur-telur yang dikeluarkan si betina.

c. Habitat dan Makanan

Kodok dan katak hidup menyebar luas, terutama di daerah tropis yang berhawa panas. Makin dingin tempatnya, seperti di atas gunung atau di daerah bermusim empat (temperate), jumlah jenis kodok cenderung semakin sedikit. Salah satunya ialah karena kodok termasuk hewan berdarah dingin, yang membutuhkan panas dari lingkungannya untuk mempertahankan hidupnya dan menjaga metabolisme tubuhnya.

Katak dan kodok dapat dikelompokkan menurut pemisahan habitatnya. Habitat pertama selalu berkaitan dengan kegiatan manusia, misalnya Bufo melanostictus, kategori kedua adalah jenis yang hidup di atas pepohonan misalnya suku Racophoridae, kategori ketiga adalah jenis yang hidup di habitat yang terganggu, misalnya jenis Rana baramica, dan kategori keempat adalah yang hidup di hutan primer dan sekunder, misalnya jenis Bufo biportacus.

Semua amfibi adalah karnivora. Makanannya terutama terdiri dari Arthropoda, cacing dan larva serangga, terutama untuk jenis kecil. Jenis yang lebih besar dapat memakan binantang yang lebih kecil, seperti ikan kecil, udang, kerang, katak kecil atau katak muda, dan bahkan kadal kecil. Namun kebanyakan berudu katak adalah herbivora, kecuali berudu Kaloula dan Kalophrynus sama sekali tidak makan, dan sepenuhnya mendapat makanan dari kuning telur yang tersedia. Berudu Occidozyga bersifat karnivora, terutama memakan larva serangga dan cacing tanah. Berudu biasanya makan di dasar perairan dan beberapa jenis mencari makan di permukaan air.

d. Mekanisme Pertahanan

Amfibi tidak mempunyai alat fisik untuk mempertahankan diri. Pada beberapa jenis katak mempunyai geligi seperti taring di bagian depan rahang atas sebagai alat pertahanan diri dengan cara menggigit musuhnya. Katak dan kodok juga mempunyai kaki belakang yang lebih panjang daripada kaki depan, yang berfungsi untuk melompat dan menghindar dari bahaya.

Alat lain yang efektif sebagai pertahanan diri adalah kulit yang beracun. Banyak jenis Bufonidae dan Ranidae mampunyai kelenjar racun yang tersebar di permukaan kulit dan tonjolan-tonjolan, misalnya Dendrobates pumilio. Beberapa jenis dari suku Microhylidae mempunyai kulit yang sangat lengket sehingga predator menjauhinya.

3. Jenis-jenis Anura di Indonesia

Bangsa Anura merupakan bangsa amfibi yang terbesar dan sangat beragam, terdiri dari lebih 4.100 jenis katak dan kodok. Sekitar 450 jenis telah dicatat dari Indonesia, yang berarti mewakili sekitar 11% dari seluruh Anura di dunia (Iskandar, 1998).

Suku Anura yang terdapat di Indonesia adalah Bombinatoridae, suku yang paling sederhana untuk Indonesia, suku Megophrydae dengan 15 jenis dalam empat marga, suku Bufonidae dengan 35 jenis dan terdiri dari enam marga; Microhylidae merupakan suku terbesar di Indonesia. Suku Ranidae mempunyai sekitar 100 jenis terbagi dalam delapan marga, suku Pipidae dengan dua jenis yang diintroduksi ke Jawa, suku Rhacophoridae diwakili oleh lima marga dan 40 jenis, suku Lymnodynastidae yang diwakili oleh dua marga, suku Myobatrachidae yang diwakili oleh tiga marga, dan suku Pelodryadidae mempunyai sekitar 80 jenis yang tersebar di subwilayah Papua.

4. Peranan dan Aktifitas

Katak berperan sangat penting sebagai indikator pencemaran lingkungan. Tingkat pencemaran lingkungan pada suatu daerah dapat dilihat dari jumlah populasi katak yang dapat ditemukan di daerah tersebut. Latar belakang penggunaan katak sebagai indikator lingkungan karena katak merupakan salah satu mahluk purba yang telah ada sejak ribuan tahun lalu. Jadi katak tetap eksis dengan perubahan iklim bumi. Selain itu, karena pentingnya kedudukan katak dalam rantai makanan, maka pengurangan jumlah katak akan menyebabkan terganggunya dinamika pertumbuhan predator katak. Bahkan terganggunya populasi katak dapat berakibat langsung dengan punahnya predator katak.

Katak dan kodok di Indonesia umumnya diperdagangkan bahkan diekspor ke luar negeri, seperti Cina. Jenis yang banyak diperdagangkan adalah Fejerva cancrivora (kodok sawah, katak hijau atau katak rawa) dan Limnonectes macrodon (katak batu). Penjualan katak di toko binatang piaraan, baru dimulai bebrapa tahun terakhir. Beberapa jenis kodok dari Amerika Selatan yakni Xenopus laevis dan Hymenochirus sp. dikenal menjadi subyek penelitian binatang percobaan. Jenis-jenis ini dapat menjadi ancaman kepunahan bagi jenis lokal, misalnya Rana catesbeiana atau kodok tebu dan Bufo marinus seperti yang telah terjadi di Australia dan Filipina (Iskandar, 1998).

5. Tinjauan Umum Daerah Penelitian

Kabupaten Kapuas mempunyai luas 14.999.000 Ha, termasuk daerah beriklim tropis dan lembab dengan temperatur berkisar antara 21°-23° C dan maksimal mencapai 36° Celsius. Intensitas penyinaran matahari selalu tinggi dan sumber daya air yang cukup banyak sehingga menyebabkan tingginya penguapan yang menimbulkan awan aktif/tebal. Curah hujan terbanyak pada bulan Januari dan April, berkisar diantara 865 – 871 mm, sedangkan musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Juni sampai dengan Juli (www.kapuas.net).

Handil Baras merupakan salah satu desa yang terdapat di Kelurahan Selat Hulu Kecamatan Selat dan termasuk ke dalam wilayah kota Kuala Kapuas. Desa Handil Baras adalah kawasan pasang surut yang merupakan daerah potensi pertanian tanaman pangan sehingga mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah petani.

Penelitian ini dilakukan di area persawahan yang terdapat di desa Handil Baras. Lokasi penelitian yang telah ditentukan dibuat batas daerah

penelitian dengan luas 2 hektar sebagai tempat penelitian.

6. Penelitian lain yang relevan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lilik Sartono tentang keanekaragaman jenis Anura di kawasan Youth Camp Taman Hutan Raya (Tahura) Wan Abdul Rachman. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Februari dan Maret 2007. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Survei Perjumpaan Visual (Visual Encounter Survey), yang meliputi metode Transek dan metode Timed Constraint Search (pencarian dibatasi dengan waktu). Dari hasil penelitian yang dilakukan ditemukan 118 ekor Anura dari 10 spesies yang berbeda yang terdiri dari 4 famili. Famili Ranidae yang ditemukan ada 5 spesies meliputi Rana nicobariensis, Rana chalconota, R. hosii, Limnonectes macrodon, dan Fejervarya limnocharis. Pada famili Bufonidae terdapat 3 spesies yang ditemukan yaitu Bufo melanostictus, B. quadriporcatus, dan Pelophryne brevipes. Pada famili Rhacophoridae terdapat 1 spesies yang ditemukan yaitu Polypedates leucomystax dan pada famili Microhylidae terdapat 1 spesies yang ditemukan yaitu Microhyla annectens. Berdasarkan Indek Keanekaragaman Shannon Wiener & lsquos jenis Anura di kawasan Youth Camp tergolong sedang dengan nilai H = 2,0048.

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Arhamin, Andani, Maiser Syaputra, dan Delizius Kolop, yakni studi keanekaragaman jenis amfibi (ordo Anura) di Sungai Ciapus (bagian hilir) Bogor. Dari hasil pengamatan yang dilakukan di sungai Ciapus (bagian hilir) berhasil ditemukan empat jenis amfibi ordo Anura dari dua famili. Keempat jenis tersebut adalah Bufo asper, Bufo melanostictus, Rana chalconota, dan Fejervarya limnocharis. Jenis Bufo asper memiliki jumlah yang melimpah, sedangkan jenis Rana chalconota memiliki jumlah yang paling sedikit. Jenis amfibi yang berjenis kelamin betina memiliki jumlah terbesar yaitu 16 ekor dengan persentase 72,73 % sedangkan yang berjenis kelamin jantan ada 4 ekor (18,18 %) dan dua ekor juvenil dengan persentase 9,09 %.

H. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode VES (Visual Encounter Survey/Survei Perjumpaan Visual) dengan Line Transek. Metode Line Transek adalah metode pengamatan dengan cara berjalan perlahan terus menerus dan mencatat semua kontak di sepanjang kedua sisi jalur perjalanannya. Penelitian ini tidak berdasarkan panjang transek, tetapi akan berdasarkan pada waktu yang dilakukan pada malam hari dengan durasi waktu sekitar 2-3 jam. Sedangkan survei lokasi dilakukan pada sore hari sebelum pengamatan.

2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan pada bulan Mei – Agustus 2008, dari tahap persiapan sampai dengan selesai, yang dilakukan di area persawahan desa Handil Baras Kelurahan Selat Hulu Kecamatan Selat Kabupaten Kuala Kapuas.

3. Populasi dan Sampel Penelitian

a. Populasi Penelitian

Populasi pada penelitian adalah semua jenis amfibi (ordo Anura) yang terdapat di area persawahan Handil Baras Kuala Kapuas.

b. Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah semua jenis amfibi (ordo Anura) yang ditemukan di area penelitian sepanjang jalur line transek.

4. Alat dan Bahan

a. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut :

1. Rool meter, untuk mengukur area persawahan dan panjang transek.

2. Ember, wadah spesimen.

3. Kamera, alat dokumentasi.

4. Jam tangan dan Stop watch, untuk mengukur waktu dan durasi waktu penelitian.

5. Alat tulis.

6. Tali Rafia, untuk membuat jalur dan batas Line Transek.

7. Senter, untuk alat penerangan.

8. Tabel Identifikasi (Iskandar, 1998), untuk mengidentifikasi spesies.

9. Timbangan digital, untuk mengukur berat spesies (gram).

10. Tally Sheet, untuk pengumpulan data morfometri spesies dan data pendukung lainnya (meliputi aktifitas, waktu saat ditemukan, dan substrat).

11. Termometer, untuk mengukur suhu lingkungan (°C).

12. Luxmeter, untuk mengukur intensitas cahaya (lux bath).

13. DO meter, untuk mengukur oksigen terlarut (cm).

14. pH meter, untuk mengukur pH tanah dan kelembaban tanah (ppm).

b. Bahan yang digunakan

1. Alkohol 70 %, untuk membius spesimen.

2. Formalin 4 %, untuk mengawetkan spesimen.

5. Prosedur Penelitian

Adapun prosedur penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Melakukan observasi pendahuluan ke lokasi penelitian

2. Menetukan titik hitung di sepanjang line transek dan membuat batas daerah penelitian.

3. Mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian

4. Mengukur parameter lingkungan seperti suhu, pH dan kelembaban tanah, intensitas cahaya, dan oksigen terlarut.

5. Melakukan proses pengambilan sampel penelitian pada setiap titik yang telah ditentukan sebelumnya.

6. Memasukkan hewan sampel yang ditemukan ke dalam ember yang telah diberi label.

7. Membius hewan sampel yang ditemukan dengan alkohol 70 %.

8. Menghitung jumlah hewan sampel yang didapat.

9. Mencatat data morfometri dan data pendukung lainnya.

10. Mendokumentasikan hewan sampel yang ditemukan.

11. Mengidentifikasikan hewan sampel yang ditemukan dengan tabel identifikasi sesuai dengan literatur buku (Iskandar, 1998).

12. Mengawetkan sejumlah hewan sampel yang ditemukan dengan formalin 4 %.

6. Teknik Pengumpulan Data

Data amfibi yang diambil terbagi atas data utama dan data penunjang. Data utama yakni jenis spesies dan data morfometri yang meliputi ukuran Snout-Vent Length (SVL) yaitu panjang dari moncong hingga kloaka, jenis kelamin, dan berat tubuh. Sedangkan data penunjang meliputi waktu saat ditemukan, substrat, dan aktifitas hewan saat ditemukan.

7. Teknik Analisis Data

Jenis amfibi (ordo Anura) yang ditemukan dihitung dengan menggunakan rumus. Untuk mengetahui keanekaragaman dan kemelimpahan jenis katak dan kodok yang diperoleh maka digunakan perhitungan statistik sebagai berikut :

a. Untuk menghitung nilai kemelimpahan menggunakan rumus Nilai Penting (NP) menurut Odum dalam Manurung (1995).

NP = KR + FR

Keterangan :

NP = Nilai penting

FR = Frekuensi Relatif

KR= Kerapatan Relatif

Dimana :

Kerapatan ( K ) =

Jumlah individu suatu spesies

Jumlah seluruh kuadrat

Kerapatan Relatif ( KR ) =

Kerapatan suatu spesies

x 100%

Kerapatan seluruh spesies

Frekuensi ( F ) =

Jumlah plot ditempati suatu spesies

Jumlah seluruh kuadrat

Frekuensi Relatif ( FR ) =

Frekuensi spesies

x 100%

Frekuensi seluruh spesies

b. Untuk menghitung keanekaragaman dapat dihitung dengan indeks Diversitas (keanekaragaman) Shannon-Winner dalam Manurung (1995).

H¢ = - ∑ ( Pi ) . ( Log . Pi )

Keterangan ;

Pi = Kemelimpahan proporsional dari jenis ke –i

Sehingga

Pi = Ni / N

Ni = Jumlah individu jenis ke-i

N = Jumlah individu keseluruhan jenis kedalam komunitas

8. Jadwal Penelitian

No.

Kegiatan

Bulan

1

2

3

4

1

2

3

4

Persiapan

Penelitian

Pengolahan data

Penyusunan Laporan

x

x

x

x

x

x

DAFTAR PUSTAKA

Dharmawan, Agus. 2005. Ekologi Hewan. Malang : UM Press

Iskandar, D. T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali – Seri Panduan Lapangan. Bogor : Puslitbang – LIPI.

Manurung, Binari. 1995. Dasar-dasar Ekologi Hewan. Medan : IKIP Medan.

Mulyani, Mul. 1991. Mikrobiologi Tanah. Jakarta : Rineka Cipta.

Michael, P. 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium. Terjemahan Yanti R. Koestoer. Jakarta : Universitas Indonesia

Radiopoetro. 1986. Zoologi. Jakarta : Erlangga.

Suripto. 1997. Struktur Hewan. Bandung : ITB Bandung.

Suripto. 1997. Fisiologi Hewan. Bandung : ITB Bandung.

Tarumingkeng, Rudy. 1994. Dinamika Populasi. Jakarta : Sinar Harapan.

Arhamin, http://ar_alvo.blogs.friendster.com/ar_news/ (Arhamin, Andani, Maiser Syaputra, Delizius Kolop. 2007. Studi keanekaragaman jenis amfibi (ordo Anura) di sungai Ciapus (bagian hilir) Bogor ) Diakses 2 April 2007.

PILI-NGO Movement. http://www.pili.or.id/headline_news_read_detail.php

Diakses 17 April 2008.

http://www.wikipediaindonesia.co.id/wiki/Amfibi. Diakses 17 April 2008.

http://www.kapuas.net. Diakses 15 Juni 2008.

http://www.unila.ac.id/~fp. Diakses 20 Juni 2008

3 komentar:

ajeed mengatakan...

sptnya ad yang keliru.....
katak dan kodok jelas berbeda...
katak berkulit halus, tubuh ramping dan bahasa inggrisnya frog
kodok kulitnya kasar, badannya gemuk pendek, bahasa inggrisnya toad...(kebalik dari pernyataanmu)
kalau kamu ambil pengertian kodok dan katak di wikipedia, perlu dibaca lagi literatur yang ada....
saya tidak menyalahkan tetapi saya berpatokan pada buku inger....
sekian dan terima kasih.....

Eristable mengatakan...

bisa tahu tally sheetnya tidak terima kasih?

Unknown mengatakan...

salam kenal,
metodologinya bisa diperjelas ngak soalnya ngak ketahuan pakai ulangan atau tidak